Damai mau ke mana, sih? Tanya Pak JK dan Hiroshima

Penganugrahan gelar Doktor Honoris Causa bidang Perdamainan untuk Bapak Muhammad Jusuf Kalla di Hiroshima University (21 Februari 2018), agaknya sedikit banyak diantisipasi dengan ketidakantusiasan oleh sebagian orang yang mengaku non-simpatisan. Gelar ini tampak kurang strategis mengingat Pak JK dianggap tidak cukup punya elektabilitas untuk maju sebagai presiden di Pemilihan Umum tahun depan atau posisi strategis lain untuk melancarkan komunikasi antara Hiroshima (Jepang) dan Indonesia.

Juga, walaupun keterlibatan Beliau dalam rekonsiliasi konflik Maluku, Poso, dan Aceh tidak bisa dianggap nihil, tentu juga banyak tokoh lain yang terlibat langsung dan lebih mendalam; juga sejatinya konflik bisa dibilang selesai bukan karena intervensi mediator, namun saat kedua pihak yang berseteru memutuskan untuk ikhlas, menyatakan cause yang mereka pertetangkan sudah usang, dan menyatakan kondisi sekarang dan [perkiraan mengenai] masa depan bakal lebih relevan.

Kalau mau ambil praktisnya, jabatan Pak JK sebagai Ketua Palang Merah Indonesia sebetulnya boleh cukup buat Beliau untuk mewakili perdamaian dari Indonesia. Hiroshima yang punya sejarah sebagai korban bom atom di Perang Dunia Kedua punya label sebagai advokat perdamaian. Kalla Group punya berbagai logistik perdagangan yang dikirim dari Indonesia bagian timur ke Jepang, begitu juga sebaliknya. End of story? Nope.

Well, selalu ada hikmah di balik tiap kisah. Kali ini tidak ada kartu kuning.

Pidato yang Beliau berikan berjudul “The Incompatibility between Conflict and Civilization”, memberi gambaran umum bagaimana konflik menghambat pembangunan sebuah bangsa. Pidato ini diawali dengan empat preposisi:

  1. konflik niscaya selalu ada namun perdamaian juga selalu menjadi tujuan peradaban,
  2. silogisme bagaimana konflik merongrong kehidupan, sementara kehidupan adalah bagian penting dari kehormatan manusia, sehingga kehormatan manusia dapat ditemukan di lingkungan tanpa konflik,
  3. konflik memecah belah masyarakan dan mengaburkan masa depan, juga damai memperindah langkah menuju masa depan,
  4. konflik menelan korban yang utamanya wanita dan anak-anak. Kematian saat konflik menjadi tidak alami dan berkesan karena tangan manusia.

Mudah saja untuk tidak setuju dengan preposisi di atas secara parsial. Kita bisa bilang bahwa tidak sedikit teknologi yang dikembangkan di masa perang kemudian digunakan untuk masyarakat umum (contoh: ponsel dan internet); tokoh nasional tetap besar berbagai bentuk komemorasi untuk Beliau sekalian (I see you, Pak Karno dan Pak Harto yang narsis di mata uang Rupiah); serta menempatkan wanita dan anak-anak sebagai korban konflik adalah tidak lebih dari komodifikasi karena sejatinya kita semua sakit saat mengalami konflik.

Mari kita tarik definisi konflik sebagai “ketidaksepakatan” antara dua pihak agar kita punya koridor diskusi. Dari preposisi Pak JK, kita tidak bisa menolak bahwa konflik memantik kegelisahan di benak banyak orang, dan kegelisahan dapat mengaburkan atau menjauhkan kita dari tujuan hidup. Tapi masyarakat yang dewasa harusnya tahu bagaimana berhadapan dengan konflik, implikasinya langsungnya bahwa masyarakat tersebut pernah bertengkar dengan bagian masyarakat yang lain, bersakit-sakit dalam konflik, berdamai, dan keluar sebagai masyarakat yang lebih purna. Memendam konflik, di balik subsidi, stereotipikasi budaya, kesejahteraan, bisa jadi tidak mendewasakan kita kalau dilakukan berlebihan.

Pidato Pak JK kemudian beralih mengenai definisi perdamaian yang dinamis. Definisi perdamaian bukan lagi cuma ketidaaan praktek kekerasan di masyarakat, tapi juga penegakan hukum (keadilan), pemerataan pembangungan dan kesejahteraan, toleransi dalam masyarakat, keberadaan hak asasi manusia dan kebebasan individu, demokrasi, dan kelestarian lingkungan. Uraian di atas baiknya tidak diambil sebagai tujuan-tujuan yang menjadi indikator perdamaian, namun sebagai hadiah-hadiah selama mengusahakan perdamaian itu sendiri. Ekspolitasi sumber daya alam berbebihan bisa jadi berkedok pembangunan, ketidakpedulian bisa jadi berkedok toleransi, totalitarian bisa jadi berkedok hukum, dosa bisa jadi berkedok kebebasan, dan ketiadaan manusia bisa jadi berkedok kelestarian lingkungan, ditambah kita bisa jadi tidak tahu apa yang yang sedang berkedok apa. Mulai Shakespeare, Taufik Ismail, Achmad Albar, Nicky Astria, dan Ian Antono bilang dunia ini cuma panggung sandiwara.

Pak JK kemudian membahas mengenai konflik global kekinian yang didalangi aktor global non-negara. Mereka dianggap membawa ideologi utopis yang dijalankan dengan kekerasan, memaksa keseragaman. Motivasi aktor-aktor tersebut karena kebijakan publik negara yang kurang adil secara ekonomi, sosial, politik, atau politis antara masyarakat pribumi dan pendatang; salah satu atau kedua pihak tersebut merasa ditelantarkan yang kemudian dibantu oleh intervensi powerful state sebagai pihak asing. Propagasi informasi yang lebih cepat tidak banyak membantu saat digunakan untuk menyebar fitnah, provokasi, informasi parsial. Kalau negara punya kebijakan yang lebih bijak, rasanya konflik dapat dihindari dan diselesaikan, bukan?

Lalu apa ideologi utopis ini agama? Beliau tegas menjawab, “Bukan.”Agama sejatinya suci dan tidak hanya menjelaskan sisi ideologis kehidupan semata, masih ada dimensi spiritual, ritus-religius, dan meta-fisis jika perlu. Agama juga tidak utopis, karena tujuan utopis dalam agama melibatkan Tuhan dan manusia, sementara interaksi antar manusia dijelaskan terpisah ke bentuk yang nyata macam mu’amalah dan syariah. Lalu mengapa konflik sering diidentikkan dengan agama atau etnis tertentu? Jawabannya karena kita tidak cukup cendekia untuk buat korelasi antara kebolehjadian konflik dengan pendapatan dan asupan kalori per kapita antara di daerah rawan konflik.

Di akhir pidatonya, Pak JK menyatakan bahwa tiap konflik punya bentuk dan penyelesaiannya masing-masing, sehingga tidak ada satu pendekatan generik yang bisa diterapkan. Beliau membagi tips mediasi konflik mengambil peran sebagai negara:

  • menghentikan konflik fisik secara segera dan tanpa syarat (unconditionally, yakopo coro)
  • menentukan titik ekuilibrium di mana tidak ada pihak yang merasa superior (kalau negara yang superior semoga kedua pihak mau terima),
  • temukan kesamaan-kesamaan dan mulai diskusi dari situ,
  • perbaiki zona netral seperti rumah ibadah, pasar, terminal transportasi.

Kembali ke awal tulisan ini, mengapa Hiroshima yang sudah punya label sebagai kampung perdamaian butuh memberi gelar Doktor Perdamaian buat Pak JK? Bisa jadi jawabannya karena Beliau sudah lebih bijak mengenai kebisajadi-bisajadian dalam pengusahaan perdamaian yang sejatinya tidak pernah tuntas. Jepang, sebagai negara yang diterapi budaya stereotip yang cerdas dalam menampilkan hal yang baik dan menyimpan berbagai ketidaksesuaian, rasanya ingin belajar bagaimana bertengkar dengan lebih baik dan menyelesaikan pertengkaran.

Pierlugi Collina yang mendapat anugerah wasit terbaik, dari FIFA yang saat itu banyak terlibat skandal korupsi, dari Italia yang terkenal dengan Calciopoli. Kita bisa-bisa saja kok jadi orang yang damai walau erat dengan gelisah karena kekurangdamaian. Kalau Beliau hadir di kuliah umum kemarin, biar Pak Collina saja yang kasih kartu kuning jika dirasa perlu.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *