Kolase Peradaban di Perantauan

(Oleh Suhendri)

Apa yang kita cari dari sebuah perantauan?
Ketika alam hanya mendendangkan lagu yang sama
dan semilir angin tak jua mampu memberimu tempat ternyaman-–di Hondori sekalipun.
Bahkan burung-burung yang beterbangan serupa malaikat pencabut nyawa
sementara sepeda yang kita kayuh tak jua melambat diterpa hujan.

Aku terdiam,
membayangkan pohon dan sungai menjadi benalu.
Terbentang di antara jalan yang bahkan tak sempat kulalui bersama dirimu sang pahlawan malam.
Piring-piring hampa penuh kenisbian.
Apakah ini karena harga pisang di Halows kembali mahal?
Atau diskon harga ikan di Lamu pun sudah tidak ada?

Apa yang kita cari dari sebuah perantauan,
sebuah peradaban baru atau eksistensi diri yang menjangkau langit?
Berapa sering kita mematikan nurani demi harga diri?
Berapa banyak saudara yang kau jadikan orang-orangan sawah saat berjumpa?
Berapa sering pula waktu sholat kita jadikan beban
di antara mulianya tamu-tamu logika yang berdatangan di lab tanpa undangan?
Meliuk sembarang, berjumpa kembali dengan persimpangan yang kau ciptakan tanpa beban.

Dan kita bangga.

Perantauan ini tetap hanya perjalanan,
sejauh para mahasiswa pulang pagi dari Yamamoto dan pabrik bento.
Pun ujungnya terlihat walau tertutup indahnya bunga sakura.
Tak tertunda, tak pula dipercepat oleh panas yang menyengat atau dingin salju yang mencekam.
Sementara kita tetap sibuk mengurai waktu.
Sayang, tangan-tangan dan hati-hati kita semakin hitam memeluk pelangi
dan serambi-serambi yang berganti nama.
Kita terhipnotis akan kesempurnaan cahaya di atas sawah
lalu senyum kecut karena Bung Erik kembali bersuara akan prinsip kejenuhan menuju gerbang akhir,
“Kang Suhe, vaksin itu hanya buang uang lho dan corona itu konspirasi para tokoh kartun, hehehe.”
Ingin rasanya kucium makhluk alien ini jika memang mencium itu bukan kejahatan.

Sungguh bukan.

Kawan,
perantauan ini adalah doa
akan sebuah hamparan salam dari penjuru negeri dalam diri.
Hiroshima adalah tempat menaruh potongan jiwa, bukan tempat mengemis kehinaan.
Tidak akan ada upacara atau sekedar heningan cipta untuk perayaan kehebatan dunia
walau engkau gemetaran menyambut zemi dan deadline.
Wakarimasen is daijoubu, karena kita bukan politikus.
Ada yang tak perlu kita cintai secara mati-matian, semacam salju yang terlambat datang.
Mengaburkan makna sebuah pertemuan dan perpisahan.
Lalu kita makin terpuruk menaiki tangga masjid as-Salam.

Keluh kesah di perantauan adalah senyuman momiji yang memanjangkan usia.
Gugur di atas, tegak berdiri di puncak Gunung Fuji.
Kawan, kelak kita akan sama-sama rindu
burung-burung, Hondori, sepeda, sungai, Halows, Lab, sakura, sawah, salju, Erik, zemi, momiji, as-Salam, Hiroshima.
Semuanya adalah kolase dari sebuah peradaban di hangatnya perantauan.

Apato Nusantara – Saijo, 17 Agustus 2021
Terinspirasi oleh kegigihan Bung Erik mengurapi kantuk memaknai kemerdekaan.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *