TGIF PPIH Januari – Bencana Melanda, Diaspora Bisa Apa?

TGIF PPIH kembali hadir di bulan Januari dengan topik yang masih cukup hangat di Indonesia yaitu bencana alam. Beberapa bencana alam besar terjadi di Indonesia sepanjang 2018 yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian yang tak terhitung jumlahnya. Lalu timbul pertanyaan di benak, kira-kira apa sih yang bisa dilakukan oleh diaspora terhadap bencana-bencana alam tersebut? Nah melalui TGIF PPIH ini divisi Relasi Publik PPIH ingin menghadirkan diskusi hangat nan santai untuk berusaha #BersamaBersinergi menjawab pertanyaan tersebut sekaligus meningkatkan awareness warga PPIH terhadap kebencanaan di Indonesia.

Kegiatan yang dilakukan pada Jumat malam hari ini dipandu oleh saudara Gillang dan Ghiffary dari divisi relasi publik. Sekitar 10 orang datang silih berganti untuk berdiskusi santai di kegiatan ini. TGIF PPIH kali ini terdiri dari empat sesi nih teman-teman, sesi pertama merupakan pemutaran video mengenai bencana-bencana yang terjadi di Indonesia pada tahun 2018, sesi kedua berupa pemaparan materi dari Gillang mengenai kebencanaan di Indonesia, dilanjutkan dengan sesi ketiga dari Pak Subaedy tentang bencana alam dari sudut pandang sosial, dan ditutup dengan diskusi bersama untuk menjawab pertanyaan yang menjadi tema kegiatan ini. Slide dari Gillang dan Pak Subaedy bisa diunduh di Slide Gillang dan Slide Pak Subaedy.

Slide Gillang
Slide Pak Subaedy

Resume dari materi yang dipaparkan oleh Gillang kurang lebih sebagai berikut.

Sejak zaman lampau Indonesia sudah sering mengalami bencana, bahkan sejak 1990 saja sudah ada 20 bencana dengan skala cukup besar yang terjadi di Indonesia. Dari bencana-bencana tersebut, sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas vulkanik dan tektonik seperti erupsi gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Bencana-bencana tersebut tidak lain disebabkan karena letak geografis dan geologis Indonesia yang berada di Ring of Fire dan menjadi pertemuan dari tiga lempeng tektonik, lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Peta distribusi potensi bencana yang terdapat di Indonesia kira-kira sebagai berikut

Peta Zonasi Ancaman Bencana Gempa Bumi di Indonesia (Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB))

 

Peta Bahaya Tsunami di Indonesia (“A probabilistic tsunami hazard assessment for Indonesia”, N Horspool et. al., 2014)

 

Peta Bahaya Tsunami di Denpasar (Sumber: German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS))

Pemerintah Indonesia sendiri juga sudah menerapkan banyak upaya mitigasi bencana kawan-kawan, contohnya

  1. Sistem daring MAGMASistem yang dibuat oleh Kementerian ESDM ini memonitor kegiatan-kegiatan vulkanik dan tektonik yang terjadi di Indonesia secara real time. Sistem ini bisa diakses melalui situs https://magma.vsi.esdm.go.id/ maupun aplikasi “MAGMA” yang bisa diunduh melalui playstore.

    Halaman Muka Situs MAGMA
  2. Indonesia Tsunami Early Warning System (INATEWS)

INATEWS merupakan sistem peringatan dini tsunami yang berada dibawah BMKG. Sistem ini dibangun sejak Gempa Bumi dan Tsunami Aceh 2004 yang menelan ratusan ribu juta jiwa dan menerpa beberapa negara sekaligus.

Sistem Kerja INATEWS (Sumber: Badan Metorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG))

Sistem ini bekerja dengan memanfaatkan sensor yang mendeteksi pergerakan lempeng tektonik di dasar Samudera. Sensor ini lalu mentransmisikan data melalui perantara buoy  di permukaan laut dan satelit ke Kantor Pusat BMKG yang selanjutnya menginformasikan himbauan pada masyarakat. Data tersebut juga digunakan sebagai data masukan untuk simulasi numerik tsunami untuk melakukan prediksi awal mengenai seberapa parah dampak yang mampu ditimbulkan oleh tsunami saat sebuah gempa terjadi. Namun patut diketahui bahwa sistem ini hanya mampu bekerja untuk tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, oleh karena itu dua kasus tsunami yang terjadi tahun kemarin tidak mampu terprediksi karena pembangkit tsunami yang berbeda yaitu longsoran bawah laut untuk Tsunami Palu dan aktivitas vulkanik untuk Tsunami Selat Sunda.

 

Indonesia juga sudah memiliki sistem koordinasi pasca bencana terjadi yang cukup sistematis nih teman-teman walaupun pada pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala. Berikut diagramnya,

Mekanisme Koordinasi Manajemen Bencana di Indonesia (Sumber: BNPB)
Hirarki Manajemen Bencana di Indonesia (Sumber: JICA, 2012)

Dengan upaya mitigasi bencana yang cukup canggih dan sistem manajemen bencana yang sistematis, lalu kenapa masih banyak korban harta bahkan jiwa di setiap kejadian bencana ya. Kalau menurut Gillang sendiri terdapat faktor-faktor penyebab hal tersebut, diantaranya

  1. Kurangnya perawatan teknologi sistem peringatan dini yang digunakan Indonesia.
  2. Terbatasnya metode yang digunakan pada sistem peringatan dini di Indonesia.
  3. Kompleksnya mekanisme pemerintah dalam menganggarkan biaya untuk melakukan peningkatan dan perawatan teknologi sistem peringatan dini.
  4. Dan yang paling penting, masih rendahnya kesadaran masyarakan terhadap bencana dan kemampuan adaptasi masyarakat saat bencana terjadi.

Lalu resume dari materi yang disampaikan oleh Pak Subaedi yaitu sebagai berikut.

Pak Subaedy sedang menyampaikan materi

Keberhasilan mitigasi bencana itu tergantung pada kekuatan masyarakat untuk bersatu, bertahan hidup, memahami apa yang mempengaruhi mereka, dan mengambil aksi bersama. Selama ini terkesan bahwa pemerintah selalu menekankan ke faktor teknis dan alam dalam menghadapi bencana alam di Indonesia, akan tetapi satu faktor yang tidak kalah penting justru terlupakan, manusia itu sendiri. Jika kita menilik pada perumusan resiko sebagai hasil kali dari bahaya dan kerentanan (R=HxV), faktor V atau kerentanan kita sangatlah tinggi. Jika didefinisikan lebih lanjut, Resiko merupakan situasi yang memengaruhi kapasitas masyarakat untuk mengantisipasi, mengatasi, menolak dan memulihkan diri dari dampak bahaya alam. Lalu kerentanan merupakan rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya (baik yang berasal dari alam ataupun buatan) yang terjadi akan mampu menimbulkan bencana atau tidak. Sedangkan bahaya merupakan potensi dampak negatif yang mampu ditimbulkan bencana alam. Dengan demikian, ragam lahan dan ruang untuk bvekerja dan tempat tinggal dari suatu individu maupun kelompok mampu memberikan berbagai tingkat peluang dan resiko bahaya yang berbeda-beda. Komunitas ataupun individu pada dasarnya lebih sering berada atau tinggal di daerah yang memiliki resiko bencana tinggi karena daerah tersebut memiliki nilai stabilitas ekonomi yang sama tingginya.

Resiko bencana berasosiasi dengan faktor sosial, politik, dan ekonomi berkontribusi kerentanan dan risiko seringkali sulit diatasi. Sehingga, dibutuhkan juga pendekatan sosiologis bukan hanya memilih untuk fokus pada alam atau teknologi saja, misalkan melalui pendekatan Pendidikan terhadap masyarakat sejak dini. Terlebih bahaya terbatasnya anggaran dana yang dimiliki oleh pemerintah dalam masalah kebencanaan. Kerentanan terhadap bahaya dan risiko tidak hanya memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi bencana, tetapi juga memengaruhi cara seseorang untuk mitigasi (peristiwa prabencana) dan pemulihan (peristiwa pasca bencana). Pada akhirnya, terdapat beberapa stimulus yang mampu dilakukan untuk  menurunkan tingkat kerentanan dari sudut pandang sosial,

  1. Mengkomunikasikan pemahaman tentang kerentanan bencana
  2. Menganalisa kerentanan bencana untuk setiap daerah dan mencakup faktor teknis, sains maupun sosial
  3. Fokus pada pengembangan riset aksi partisipatoris untuk menemukan langkah yang tepat guna dalam membangun masyarakat yang siap siaga bencana
  4. Menekankan pembangunan berkelanjutan
  5. Meningkatkan alternatif mata pencaharian
  6. Memberikan wawasan lebih tentang disaster recovery
  7. Membangun budaya keselamatan
Diskusi oleh Partisipan

Sesi terakhir merupakan sesi diskusi. Pada sesi ini terdapat beberapa yang cukup menarik yang masing-masing dikemukakan oleh partisipan. Pertama yaitu pendekatan kebencanaan secara bersama melalui aspek sosial dan teknologi mampu menghasilkan dampak yang signifikan dengan mengambil contoh mengenai kesiapsiagaan terhadap banjir di Majalaya, Kabupaten Bandung. Kemudian mengenai pendekatan Pendidikan melalui dini yang sebenarnya sudah dilakukan di semarang oleh dosen Pendidikan terhadap melalui sebuah lagu dengan aransemen yang menarik dan mudah diingat oleh anak-anak. Lalu ada juga peranan dokter dan apoteker dalam mengenai penelitian dari segi fisiologis maupun medis pada saat pra- maupun pascabencana. Diskusi yang berlangsung sekitar 30 menit ini berakhir dengan kesimpulan bahwa mungkin secara umum cukup sulit untuk mendefinisikan hal yang mampu menjadi sumbangsih diaspora dalam menghadapi bencana, tetapi jika menilik secara spesifik, setiap diaspora ini memiliki kemampuan profesi atau ilmiah masing-masing yang mampu dimaksimalkan untuk meminimalisir resiko bencana alam.

Foto Bersama Pemateri dan Peserta TGIF Januari

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *