Shobara: Bersabar dan Bersyukur atas Karunia-Nya

Di penghujung tahun 2018 ini, beberapa cobaan datang menyapa. Pertanda Sang Pencipta masih peduli kepada diri saya. Dimulai dengan datangnya musim dingin pertama saya di Saijo, Higashihiroshima, Hiroshima, Jepang ini, yang berarti saya memerlukan kehangatan untuk dapat tetap beraktivitas seperti biasanya. Kehangatan ini sudah jelas banyak yang berasal dari luar diri, seperti: AC, sinar matahari, baju hangat, minuman hangat, makanan hangat, sampai sekedar senyuman hangat 😊

Meskipun sudah hampir sepuluh tahun saya menetap di Bandung, yang termasuk salah satu kota dengan suhu yang cukup bersahabat di Indonesia. Namun, dinginnya Saijo jauh lebih menusuk hingga ke tulang rusuk. Apato dan kasur seolah terus menggoda saya untuk tak pergi darinya di musim ini. Beruntung, saya dikelilingi oleh rekan-rekan yang juga tak lelah mengingatkan saya untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan ini. Hingga saya tersadar, bahwa kehangatan pun bisa tercipta dari dalam diri walau tetap dibutuhkan orang lain untuk menginisiasinya.

Hari-hari pun berlalu, 2 kali salju menghampiri Saijo. Kedatangan pertamanya saya lewatkan begitu saja untuk menikmati keramaian di negeri tetangga. Sontak, ketika ia datang lagi saya pun tak ragu untuk berkenalan dengannya. Perkenalan singkat yang tak berlanjut dengan komunikasi intens. Saya pun berencana dan berniat untuk balik mendatanginya bersama dengan rekan-rekan 18 Kippu Saijo melalui perjalanan panjang nan melelahkan sambal menikmati arsitektur tua khas Negeri Sakura yang tersohor di Shirakawa-go. Apa lah daya, rencana tinggal lah rencana, meski niat sudah bulat, ternyata rencana Sang Pencipta jauh lebih besar dan tak terhindarkan. Saya batalkan rencana untuk menghampirinya, karena harus berbakti kepada negeri.

Namun, tak perlu waktu lama bagi saya untuk bersedih. Kesempatan untuk mendekatinya ternyata kembali terbuka, dengan cara dan jalan yang berbeda. Sekali lagi, rekan-rekan saya lah yang kembali mencoba mengobati lara yang sebenarnya tak seberapa ini. Karena masih ada waktu yang panjang bagi saya untuk berusaha mengenalnya, walaupun tidak dengan rekan-rekan yang sama.

Kali ini pada hari Sabtu, 29 Desember 2018, saya dan rekan-rekan pergi menuju Shobara, sebuah kota kecil di ujung Utara Hiroshima. Ada Ustadz Subaedy dan keluarga, yang sudah pasti akan selalu membawa kebahagiaan dengan ikutnya dua buah hati ciliknya selain tauziah-tauziahnya. Lalu, ada juga Mas Wanda beserta istrinya, yang sudah pasti akan dapat mencairkan suasana dengan segala pengalamannya sebagai wirausahawan muda yang sangat kreatif, sentuhan-sentuhan magisnya akan mengubah apapun menjadi emas, seperti telur dan adonan yang bisa diubahnya menjadi lezat tiada tara melalui Terang Bulan Soewarto ataupun tangkapan dari lensa kameranya yang mampu disulap menjadi karya-karya citra yang luar biasa. Tak lupa ada juga sahabat Adri, yang sudah pasti membantu kelancaran kami semua selama perjalanan agar tidak tersesat dengan kemampuan komunikasinya yang sungguh hebat. Kami menggunakan Highway Bus dari Hiroshima Bus Center tujuan Shobara dengan tarif ¥1,860 sekali jalan.

Kondisi Highway Bus Hiroshima – Shobara yang sangat lengang

Niat awal kami adalah menyaksikan salah satu pertunjukan iluminasi terbesar di seantero Jepang di Bihoku Hillside Park serta menumpang melewatkan hari di kediaman salah seorang WNI di daerah Shobara. Puji syukur, banyak nikmat lain yang menyertai selain tujuan utama tersebut. Ternyata, tidak hanya tempat singgah yang disediakan sahabat kami di Shobara ini, melainkan juga seluruh kehangatan yang bisa dibagi, mulai AC, sinar matahari, minuman hangat, makanan hangat, sampai sekedar senyuman hangat 😊 Tanpa baju hangat tentunya, karena kami membawa sendiri.

 

Anak-Anak bermain di Bihoku Hillside Park

 

Suasana festival iluminasi di Bihoku Hillside Park

Jika memperhatikan lagi tujuan utama saya kemari, maka tujuan utama saya juga sudah tercapai sejak di perjalanan. Saya bertemu lagi dengannya di tengah perjalanan, seolah tak ingin melewatkan kesempatan, saya usahakan untuk terus terjaga dan tak berhenti menatapnya, jika tidak boleh dikatakan kami saling menatap satu sama lain. Kami terus bersama di sepanjang perjalanan, di Bihoku Hillside Park, maupun di Shobara. Sayangnya, kami tak di tempat yang sama menghabiskan malam, karena ia harus rela menunggu di luar. Sementara itu, saya menikmati kebersamaan dengan keluarga baru di Shobara di dalam kediaman salah satu sahabat kita.

Terdapat 9 orang sahabat-sahabat terpilih untuk menikmati suasana Shobara. Mereka semua melanjutkan studinya di Prefectural University of Hiroshima, Kampus Shobara. Ada yang berasal dari Universitas Negeri Jember, ada pula yang berasal dari Universitas Andalas. Semuanya melalui jalur kerjasama antar Universitas dan disponsori oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang (MEXT). Kami sangat bersyukur karena mereka semua menyambut kami dengan penuh kehangatan dan suka cita. Hidangan hangat, lezat, dan nikmat yang disuguhkan sangat luar biasa dan mengingatkan kami akan kehidupan di negeri kita tercinta Indonesia. Waktu kami habiskan untuk mengenal satu sama lain serta mencoba mengetahui banyak hal tentang Shobara, yang ternyata cukup sulit menemukan hiburan di sana. Shobara termasuk kota dengan penduduk yang tidak banyak dan dengan usia kerja yang sedikit. Tercatat hanya 35,542 jiwa penduduk yang tinggal di Shobara, dengan sekitar 42,1% merupakan penduduk dengan usia 65 tahun ke atas. Menilik data tersebut, tak heran bahwa kehidupan di Shobara tidak gemerlap dan cenderung sepi. Sektor industri utama di Shobara adalah pertanian dan peternakan, menambah alasan tak banyaknya fasilitas hiburan di kota ini.

Kebersamaan dengan sahabat di Shobara
Mentari pagi di Shobara

Jika melihat kondisi tersebut, sudah dapat dibayangkan bahwa akses transportasi tidak semudah di kota besar lainnya di Jepang. Bahkan, dari Bihoku Hillside Park ke tempat tinggal sahabat kita ini, ataupun menuju ke terminal bus Shobara, hanya bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi atau taksi. Armada taksi pun sepertinya tak banyak, dimana ini dibuktikan dengan samanya taksi dan sopir yang menjemput kami di awal kedatangan dan kepulangan. Tak perlu dibayangkan lagi sulitnya bersepeda disini. Kontur daerah yang berbukit-bukit jelas menunjukkan tantangan bagi para pengayuh sepeda, termasuk para pejuang Taguchi di Saijo. Cobaan untuk kalian tak ada artinya sama sekali bagi para sahabat di Shobara.

Tapi, dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Sang Pencipta pun memberikan nikmat bagi Hamba-Nya yang sabar. Seperti pada kutipan “Man Shabara Zhafira” yang artinya barang siapa yang bersabar maka ia akan beruntung. Ahmad Fuadi dalam novelnya Negeri Lima Menara pun pernah menyampaikan kepada kita semua untuk tidak merisaukan penderitaan hari ini, dan menghimbau kita untuk menjalani semuanya dan melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Karena yang kita tuju bukanlah sekarang, namun ada yang lebih besar dan esensial, yaitu menjadi manusia yang telah menemukan misinya dalam hidup. Meskipun harus hidup di Shobara yang cukup sunyi, tetap ada kenikmatan yang bisa ditemukan oleh sahabat-sahabat kita. Harga sewa apato sampai biaya hidup yang sangat murah, menjadi sisi positif hidup di Shobara. Tak berhenti disitu, jika sahabat-sahabat kita ini bisa bersabar, maka gelar Master ataupun Doktor pun akan melekat bersama nama mereka. Gelar tersebut menandakan ilmu yang berhasil didapat dan kelak pasti akan bermanfaat untuk diri sendiri maupun masyarakat.

Saya memang tak berkunjung ke daerah tersohor seperti Osaka, Kyoto, Kobe, Kanazawa, ataupun Tokyo melainkan hanya ke Shobara, tapi kedatangan saya ini patut saya syukuri. Mengingat Shobara, mengingatkan diri saya untuk selalu bersabar dan bersyukur atas karunia-Nya. Toh, misi utama saya menyapanya berhasil saya tunaikan disini 😊

Sejujurnya, saya pernah hampir begitu dekat dengan sahabat-sahabat di Shobara ini. Karena pada awal musim panas kemarin bersama dengan rekan-rekan yang lain kami pernah berkunjung ke Bihoku Hillside Park. Tak disangka, ternyata ada sahabat yang tinggal di daerah ini. Senang rasanya akhirnya bisa bersilaturahmi dan bertemu dengan keluarga baru. Akhir kata, saya sampaikan Selamat datang di Keluarga Besar Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang Komisariat Hiroshima (PPIH) untuk sahabat-sahabat di Shobara! Semoga kita bisa terus meningkatkan ikatan persaudaraan yang erat dan berkelanjutan. Semangat dan sukses untuk kita semua! Sampai jumpa di lain kesempatan!

 

#ManShabaraZhafira
#Shobara
#PPIHBersahabat
#BersamaBersinergi

 

Shobara, 29 Desember 2018

Firly R. Baskoro

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *