Menjejakkan Kaki ke Negeri Seberang

Belajar Kehidupan dari Hiroshima-Jepang

Memutuskan untuk merantau ribuan kilometer jauhnya, bukanlah hal yang mudah bagi kebanyakan orang. Bayangan rindu akan bau udara dan pelukan hangat keluarga di tanah air seolah menjadi “jerat” yang mengikat langkah kaki, pun perasaan gentar selalu menyelubungi kalbu, memaksa diri untuk melunturkan tekad yang semula membara. Namun, bagaimanapun, dengan berbekal keyakinan, semua perantau pasti memantapkan niat untuk pergi menempa diri demi harapan akan masa depan yang lebih baik dan cemerlang.

Bulan September tahun 2015, saya telah terdaftar secara resmi sebagai mahasiswa magister di Graduate School of Biosphere Science, Hiroshima University, Jepang. Dibiayai Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), saya mematri tekad untuk belajar dengan sebaik-baiknya di negeri ini. Tak sempat mempelajari bahasa penduduk setempat, membuat saya harus menelan pil pahit akibat seringnya terjadi “kegagalan komunikasi”. Namun tekad telah tertancap, tak bisa diganggu gugat, saya yang memutuskan, saya pula yang harus bertanggung-jawab.

Sebagai mahasiswa magister, saya berkewajiban mengikuti sistem pendidikan di kampus: menempuh sekian kredit perkuliahan dan melakukan penelitian. Sekitar dua per tiga waktu saya dalam sehari tersalurkan dalam kegiatan perkuliahan dan penelitian. Sisanya saya gunakan untuk beristirahat. Sepengetahuan saya, kebanyakan mahasiswa juga mengalokasikan waktu lebih untuk studi, bahkan saya kagum dengan para mahasiswa non-beasiswa yang masih perlu bekerja paruh waktu demi memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Benar-benar perjuangan yang luar biasa! Jika membandingkan diri dengan mereka, tak pantas rasanya mulut ini melontarkan keluhan. Walaupun sering terbersit ungkapan jenuh dalam hati.

Selama belajar di kampus, saya menyadari bahwa saya “dididik dan didorong” untuk menjalani suatu proses yang betul-betul menempa keteguhan mental dan jiwa. Setahun awal melaksanakan penelitian, belum ada sedikit-pun hasil penelitian yang bisa saya sampaikan kepada Sensei. Bisa dikatakan bahwa saya GAGAL TOTAL. Penelitian saya bertopik tentang penyelidikan fenomena coklat yang meleleh di dalam mulut dengan pendekatan kuantitatif. Mendapati situasi tragis tersebut, saya terus-menerus menyalahkan diri dan mengungkapkan ketidakmampuan saya kepada Sensei. Sensei sempat memberi celah bagi saya untuk mengganti topik penelitian. Tapi lebih lanjut, Beliau mengatakan kembali bahwa bagaimanapun Beliau akan mendukung penelitian saya sebaik mungkin walaupun hal itu berat.

Pernyataan Beliau membuat saya terbangun dari tidur, ungkapan dukungan sekaligus bimbingan Beliau yang sungguh-sungguh, membuat saya makin terdorong untuk giat berusaha. Berangsur-angsur, penelitian saya membaik dan menemukan titik terang. Saya masih ingat betul bagaimana garis muka Beliau ketika pertama kali kami memperoleh “hasil”. Beliau bersorak dan makin menyemangati saya untuk terus memperbaiki penelitian. Pada akhirnya, Beliau pun mendukung saya untuk mengikuti konferensi di bidang food lipids. Alhamdulillah, penelitian kami mendapat sambutan yang cukup hangat dari para peserta konferensi. Saat perjalanan pulang menuju laboratorium, Beliau mengungkapkan betapa bersyukurnya Beliau mendapati anak didiknya bisa menyampaikan gagasannya di hadapan umum setelah sekian lama berusaha untuk mendapatkan hasil yang jelas.

Di samping aktivitas perkuliahan, saya menyadari pula bahwa Hiroshima beserta segala hal di dalamnya menyajikan beragam pelajaran kehidupan: mengenai etika bermasyarakat, keteraturan hidup, pelayanan sepenuh hati, integritas, dan profesionalisme. Setiap lapisan masyarakat seolah menunjukkan kualitas tersebut sehingga timbul efek kenyamanan hidup di tengah masyarakat―menurut saya.

Saya teringat saat saya harus mencabut geraham bungsu karena keberadaannya menimbulkan sakit kepala yang begitu mengganggu, saya mendapat banyak bantuan dan kemudahan selama prosesnya. Mengingat saya perlu pergi ke rumah sakit universitas di Hiroshima-shi  yang berjarak sekitar 33 km dari kota tempat saya tinggal di  Higashihiroshima-shi, apalagi saya tak mampu berbahasa Jepang, habislah sudah! Dari proses cabut gigi, penjelasan dokter, proses bayar biaya cabut gigi, beli obat, hingga perjalanan pulang ke tempat tinggal terasa lama karena saya menahan efek obat bius di mulut yang mulai hilang terutama pasca cabut gigi. Untungnya, prosedur cabut gigi yang nyaman, penjelasan penanganan pasca cabut gigi yang cukup jelas (terdapat pedoman berbahasa Inggris), transportasi lancar jaya, dan lain sebagainya sehingga sangat membantu bagi saya.

Kehidupan di Hiroshima tak lengkap tanpa kawan-kawan akrab, terutama para pelajar asal Indonesia. Kehadiran mereka menjadi salah satu energi maha dahsyat ketika saya mengalami low battery. Walau hanya sekedar nongkrong menikmati minuman atau sejenak bercerita di loteng kampus seusai shalat wajib, itu semua begitu berarti. Bisa saya katakan, saya terlalu banyak berhutang budi pada mereka semua.

Merasakan pendidikan di Hiroshima merupakan hal yang luar biasa. Saya mengiyakan pendapat dari Bapak Iqbal Djawad, alumnus Hiroshima University yang merupakan dosen Universitas Hasanuddin, juga pernah menjabat sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jepang. Beliau mengungkapkan, “Bukanlah kami belajar di Jepang, melainkan kami belajar dari Jepang. Sebab banyak sekali pelajaran kehidupan yang berguna bagi bekal di kemudian hari.” Simak tulisan beliau di Arti sebuah M.Sc dan Ph.D dan Belajar dari Jepang.

“Nikmatnya hidup justru terasa setelah melalui banyaknya kesulitan.”

 

Akhir kata, saya panjatkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang Ia berikan. Saya makin bersyukur pula menjadi warga negara Indonesia yang terbiasa hidup dalam keberanekaragaman dan warna-warni kehidupan. Kesempatan belajar dari Jepang merupakan harta karun tak ternilai bagi pribadi saya. Saya yakin bahwa interaksi dengan penduduk lokal termasuk segala kebiasaan, adat, tradisi, dan pengalaman yang diperoleh dari suatu tempat, akan memberikan jejak berupa kedewasaan dalam berpikir, kematangan dalam bersikap, dan keluwesan dalam bertindak.

Belajar kehidupan dari Jepang? Siap!!!

 

Penulis : Dyah Ayu Savitri

Selesai ditulis pada Jumat, 3 November 2017 di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Indonesia.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *